18 – Wawasan LK

OPINI

Os Tau Apa?

Sebuah Tawaran Menghilangkan Mitos

Bagian Kedua (Habis)

Maaf

Pembaca budiman, maaf, penulis harus akui, ulasan di Bagian Pertama ternyata begitu panjang lebar.  Bahkan, bagi sebagian (besar) pembaca bisa jadi “melelahkan”.

Betapa tidak. Pembicaraan sampai pada ideologi segala. Kapitalisme dan Sosialisme.

Kemuanya itu, “hanya” untuk membicarakan—dalam pandangan penulis—krisis perilaku, krisis integritas warga sebuah desa kecil timur Nusantara yang nyaris tak tercantum di peta: Kariu. Negeri Adat Kariu (NAK). Leamoni Kamasune.

Pertanyaannya. Apakah semua itu untuk gagah-gagahan? Untuk aksi-aksian biar disebut intelek?  Apakah bicara sebuah desa sekecil NAK (dihuni tak lebih dari 1000 jiwa) harus “setinggi” itu? Kenapa sih tidak “fun-fun” saja, tidak yang “enteng-enteng” saja?

Pembaca budiman…dengan berat hati penulis harus menjawab: tidak.

Jawaban yang sebenarnya sudah disinggung pada rubrik Dari Redaksi bertajuk Kariu Baru (9) di pengeposan bulan lalu. Penulis kutip sepotong alineanya.

Tulisan, opini semacam itu, adalah secuil upaya Redaksi untuk mencegahnya berulang menjadi “zaman Vlaming” jilid ke-3!

Upaya Menoreh dengan  “Pena Tajam”

Ya, blog jurnalis warga ini adalah salah satu yang menyikapi kerusuhan berakibat rayat Kariu terusir dari Leamoni Kamasune sebagai suatu hal yang mutlak tak boleh terulang. Apa pun, bagaimana pun!

Karenanya, blog ini—termasuk penulis di dalamnya—yang berambisi memberikan secuil kontribusi, berupaya menoreh (menulis) semaksimal mungkin dengan “pena tajam” agar tak terwujud “zaman Vlaming” jilid ke-3 itu

Konsekuensi logis dari “pena tajam” itu, ia akan menoreh hal-hal yang, maaf, bukan “fun-fun” lagi. Dengan begitu, secuil upaya kontribusi dimaksud oleh blog ini diharapkan lebih mungkin tercapai dan optimal pula.

Menyoal UU No 32/2004 yang memungkinkan adat-istiadat orang Ambon kembali berlaku, adalah salah satu torehan “pena tajam” itu. Pembaca tentunya bisa menyimak pada tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini. Intinya, UU (undang-undang) dimaksud ternyata membuat desa/negeri di seantero Nusantara tidak mandiri. Sangat tergantung pada kedua bos terdekatnya: Camat dan Bupati. Dalam kalimat lain: UU itu ternyata tak berpihak pada perdesaan. Tak terkecuali Leamoni Kamasune.

Dan hal serupa pun tertoreh dari “pena tajam” itu ketika menyoal krisis integritas warga Leamoni Kamasune dan (sebutan penulis) upaya-inspiratif untuk mengatasinya.

Acuan pada para jauhari (cendekiawan) terkait masalah integritas itu, membawa pada pertarungan ideologi (kapitalisme dan sosialisme). Hal yang di era Suharto—malahan sampai sekarang—tabu dibicarakan secara lugas (saklek). Apalagi dengan pemikiran seperti Arief Budiman yang melontarkan pilihan sosialisme bagi masa depan Indonesia.

Dengan begitu, sekali lagi, torehan semaksimal mungkin dari “pena tajam” itu sulit untuk tampil ber-“fun-fun ria, serba “enteng-enteng” saja. Terlalu mahal “zaman Vlaming” jilid ke-2 memasuki abad ke-21 itu.

Sementara di sisi lain, Negara Kesatuan Republik Indonesia itu bukan cuma milik orang Jawa di Pulau Jawa atau orang Betawi di Jakarta. Apalagi cuma milik Tentara Nasional Indonesia. NKRI milik segenap warga negara Indonesia termasuk orang Ambon di Leamoni Kamasune. Ini yang mesti dicamkan betul!

Hal yang bagi kita orang Ambon warga NKRI, akan tahu persis bahwa hanya segilintir dar katong pung sodara sandiri yang tagal kepeng sadiki terpancing orang-orang berpikiran ala Suharto/Orde Baru yang hobi menghembuskan isu separatis setiap April.

Krisis Integritas, Eka, Arief

Dengan semacam kilas balik atau pengantar di atas, penulis mengajak pembaca budiman di Bagian Kedua ini melanjutkan kembali upaya-insipiratif mengatasi krisis integritas rayat NAK.

Jadi, dengan bekal tujuh pokok ciri manusia modern yang dikutip Eka Darmaputera dari Alex Inkeles di Bagian Pertama itu, upaya-inspiratif mengatasi krisis integritas rayat NAK setidaknya telah memiliki sebuah titik tolak. Paling tidak, ada dukungan teoritis, walau bisa saja dicap “asal comot”. Sokongan teoritis untuk melakukan sebuah perubahan mentalitas.

Namun, berbarengan dengan itu, … penulis kutip penggalan di Bagian Pertama itu.

Tetapi begitu tawaran upaya-inspiratif menghilangkan mitos ini dilontarkan, penulis serta merta berhadapan dengan sebuah persoalan di bidang ilmu sosial, yakni: perubahan. Dan persoalan perubahan (to change) bagi para ahli ilmu sosial itu sendiri, khususnya di Indonesia, sejak dua setengah dasawarsa lalu telah menimbulkan perdebatan seru…

Kehebohan itu, yang penulis tangkap dari wawancara dimaksud, ketika Arief menawarkan perubahan dengan pendekatan struktural atau pendekatan historis (sejarah). Sementara para ahli ilmu sosial Indonesia (waktu itu) berpegang pada pendekatan perubahan mentalitas atau pendekatan ahistoris (bukan sejarah).

Intinya, di satu sisi tersedia “kiat” berbasis nilai-nilai budaya. Dalam hal ini perubahan mentalitas, atau pendekatan ahistoris mengacu pada tujuh pokok ciri manusia modern versi Eka-Inkeles.

Di sisi yang lain ada perubahan struktural atau perubahan historis Arief Budiman. Perubahan yang  bersebarangan betul dengan pendekatan budaya seperti tampak pada alinea penutup tulisan Bagian Pertama itu, Arief  yang mengomentari budaya

Pertanyaannya sekarang, lalu bagaimana? Maksudnya, dengan adanya gagasan perubahan struktural lontaran Arief itu, upaya-inspiratif (berbasis “kiat” Eka-Inkeles) mengatasi krisis integritas di NAK bagaimana jadinya?

Untuk menjawabnya, penulis mengajak pembaca mencoba menelusuri kembali pemikiran Arief itu.

Lebih Jauh dengan Arief  di Prisma

Coba kita simak Arief yang menyoal perubahan struktural, masih di majalah Prisma dimaksud. Penulis kutip.

Saya kira teori yang lebih baru mengatakan bahwa superstructure tidak bisa dirombak, tanpa lebih dulu merombak substructure. Nilainya tidak bisa diubah kalau masih ada dukungan konkret dari sendi-sendi masyarakatnya. Kalau kita mau merombak, yang penting adalah kita rubah dulu sendi-sendi masyarakatnya. Baru kemudian dengan pengaruh ideologi, pendidikan dan sebagainya, nilai-nilai bisa diubah.

Kalau mau diubah nilai-nilai ini maka haruslah struktur sosial yang mendukung nilai-nilai itu dirombak lebih dahulu. Tetapi nilai-nilai masih akan terus ada, dan ini baru bisa dikikis melalui pendidikan. Kalau masyarakat itu dirombak menjadi masyarakat sosialis tentu masih ada banyak orang yang berpikir: saya senang dulu, ambil kekayaan dulu. Tetapi itu lebih mudah diubah daripada sebelumnya.

Anda bertanya bagaimana dalam satu masyarakat kapitalis ada kesadaran yang tidak kapitalistis. Dari mana munculnya suatu kesadaran baru yang lain sama sekali kalau kita berpegang pada teori struktural yang mengatakan bahwa manusia adalah agen saja dari struktur? Kalau masyarakat kapitalis ya kesadaran kapitalis.

Kalau saya mau memecahkan problem ini maka saya ingin pinjam teori eksistensialisme. Menurut saya, ada dua cara bereksistensi, Ada orang-orang yang memang bisa mentransendenkan (melampaui-bataskan-pemahaman—pen) realitas, strukturnya. Kebanyakan orang tidak bisa. Jadi orang-orang yang dalam istilah Heidegger disebut das Man. Yang lain adalah eksistensi otentik yaitu dari orang-orang tertentu yang selalu bisa mengatasi, mentransendenkan struktur.

Dalam struktur apa pun juga ada orang-orang yang bisa mentransendenkan. Misalnya Marx seorang borjuis, tetapi punya kesadaran sosialis. Dia termasuk orang yang bukan das Man. Saya sendiri tidak tahu, apa yang menyebabkan orang itu bisa mentransendenkan. Pendidikan mungkin salah satu faktor. Tetapi tidak mutlak. Banyak orang terdidik, sebenarnya cuma das Man saja, dalam bentuk yang lain.

Jadi saya pecahkan ketergantungan pada struktur dan nilai ini dengan adanya manusia-manusia di dalam struktur yang bisa menjadi manusia supernormal. Tetapi itu tidak struktural sama sekali. Perubahan muncul dari orang-orang supernormal ini, yang bisa mentransendenkan struktur yang ada dan bisa memproyeksikan struktur ke luar. Kepentingan kelasnya bisa dikalahkan olehnya. Itu satu sumber perubahan dan orangnya menciptakan struktur dan menciptakan kesadaran baru, dengan merombak struktur yang ada.

Orang-orang yang normal, kebanyakan das Man atau orang-orang yang hanya bisa berubah kesadarannya apabila ada perubahan struktur. Kedua, masyarakat kan tidak ada yang semata-mata kapitalis; itu teori social formation. Jadi masyarakat yang kapitalis murn, sosialis murni tidak ada. Selalu ada sistem dominan dan sistem-sistem lain yang tunduk. Dalam masyarakat kapitalis yang paling murni pun, ada sistem sosialis yang berperan secara diam-diam dan tidak menentukan, dan dicaplok oleh sistem dominan. Selalu struktur itu terdiri dari elemen-elemen yang tidak masif.

Dengan ini saya mengerti mengapa Sartre mengatakan bahwa eksistensi manusia adalah eksistensi fur sich sedangkan benda an sick. Saya melihat keadaan fur sich itu sebagai kenyataan bahwa manusia itu kesadarannya retak, tidak masif. Bahkan beberapa kombinasi dengan satu yang dominan. Dominasinya itu juga berubah-ubah.

Di Amerika Serikat misalnya dominasi kapitalisme besar sekali, sosialisme lebih sedikit. Di Indonesia ada kombinasi lain di mana kapitalisme menurut saya dominan, tetapi feodalisme masih kuat. Sosialisme sedikit. Jadi ada kombinasi modes of production dalam suatu social formation itulah yang menentukan karakteristik masyarakat, yang berkembang dalam waktu dan tempat. Di Malaysia persoalannya berbeda, sehingga orang Indonesia yang masih feodal, perception of time-nya (persepsi waktunya—pen) berbeda. Menurut saya itu bukan kepribadian yang ditentukan oleh sistem nilai manusia Indonesia, melainkan ditentukan oleh satu struktur Indonesia dalam kombinasi dari pada modes of production.

Jadi begitulah saya menjelaskan teori perubahan dalam teori struktural. Sementara itu strukturnya juga harus historis, jadi seperti yang ada dalam kenyataan dan bukannya yang abstrak dan kompak sekali.

Merasa “tanggung”, penulis lanjutkan kutipan penggalan wawancara itu. (T=tanya, dari majalah Prisma; J=jawab, dari Arief Budiman—pen)

T: Anda bilang struktur sosial dirombak dahulu baru ideologinya dimasukkan belokangan. Saya menganggap perombakan struktur itu kurang lebih berarti pemaksaan fisik, dan saya kira pemaksaan ideologis selalu lebih efektif daripada pemaksaan fisik. Berarti kalau orang bisa diyakinkan melalui ideologi maka partisapasinya menjadi lebih efektif. Padahal Anda tadi bilang bahwa perombakan struktur lebih baik mendahului perubahan ideologis.

J: Saya bedakan antara dua hal. Pertama, untuk orang-orang kebanyakan. Bagi mereka, pemaksaan ideologi tidak bisa terjadi kecuali dengan perubahan struktural. Karena memang kesadaran dia adalah refleksi daripada struktur sosialnya. Kedua, pada orang yang menurut Anda istilahnya supernormal (istilah yang tidak begitu saya sukai). Mereka ini bereksistensi secara otentik. Yang penting padanya adalah keyakinan ideologi. Untuk mereka pemaksanaan fisik tidak mempan. Dia selalu bisa mentransendenkan situasi. Ia bereksistensi pada tingkat ide, kepercayaan. Yang jelas ia tidak tergantung pada kondisi sosial yang ada.

Tetapi bagaimana saya membicarakan kesadaran sosial untuk orang-orang kebanyakan. Tak mungkin termakan oleh dia. Sama sekali tidak termakan karena kesadarannya hanya merefleksikan apa yang ada pada struktur sosial.

Cara lain adalah kesadaran sosial (sosialisme) itu diciptakan melalui kantong-kantong. Saya berikan contoh Cile. Misalnya bagaimana mengelola suatu perusahaan bersama, perusahaan komune, di mana tidak ada direktur, tidak ada manajer dan perusahaan jadi milik bersama.

Mereka masuk lalu keuntungan dibagi. Pembukuan terbuka. Lama-lama mereka sadar sekali kalau mereka malas-malasan, tidak masuk, bahwa perbuatan mereka itu merugikan. Kalau ada rapat politik misalnya, produksi menurun lantas mereka gantikan dengan sendirinya, tidak usah disuruh lagi. Absenteeism (ketidakhadiran—pen) habis pada saat itu juga. Dulu kaum kapitalis menghadapi problem, waktu absenteeism tinggi sekali. Tetapi dengan dikelola secara demikian tiba-tiba ada kesadaran baru.

Bagi orang-orang seperti ini tidak usah didiskusikan tentang konsep sosialisme. Hal itu muncul sebagai refleksi dari keadaan. Mereka lebih percaya dibandingkan sang intelektual.

Pembaca budiman, harapan penulis, penjelasan Arief di atas soal perubahan struktural dapat dipahami. Meski penulis harus akui,  muncul beberapa nama tokoh, juga istilah-istilah khas khazanah ilmu sosial yang mungkin bagi (sebagian) pembaca bisa jadi mengganggu pemahaman.

Namun, ada beberapa hal di atas yang penulis ingin tekankan. Khususnya dalam konteks kita: upaya-inspiratif mengatasi krisis integritas di NAK.

Pertama, perubahan nilai-nilai budaya itu (dari krisis integritas NAK menuju ciri-ciri manusia modern Eka-Inkeles, dalam konteks tulisan ini—pen) hanya bisa terjadi kalau lebih dulu dirubah struktur sosialnya, sendi-sendi masyarakatnya yang mendukung nilai-nilai itu.

Kedua, begitu struktur sosial dirombak, nilai-nilai budaya itu masih ada. Baru kemudian lewat pendidikan, pengaruh ideologi, dan sebagainya nilai-nilai itu bisa diubah.

Ketiga, menurut teori struktural manusia adalah agen saja dari struktur. Kalau masyarakat kapitalis, kesadaran manusia di dalamnya juga kapitalis. Pertanyaannya, bagaimana dalam satu masyarakat kapitalis ada manusia yang berkesadaran tidak kapitalistis.

Keempat, jawabannya, adanya manusia-manusia supernormal sebagai lawan dari das Man. Mereka ini yang bisa mentransendenkan (melampui-bataskan-pemahaman—pen) struktur yang ada dan memproyeksikan struktur ke luar. Kepentingan kelasnya bisa dikalahkan. Para supernormal ini menciptakan struktur dan kesadaran baru, dengan merombak struktur yang ada. Ini satu sumber perubahan struktural.

Kelima, ada sumber perubahan struktural lainnya. Kesadaran sosial (sosialisme dalam hal ini) itu diciptakan melalui kantong-kantong. Arief lalu memberikan contoh perusahaan komune  di Cile. Bagaimana mereka mengelola suatu perusahaan, dimiliki bersama, tidak ada direktur, tidak ada manajer. Mereka lalu tiba-tiba punya kesadaran baru. Angka ketidakhadiran misalnya, habis seketika.

Bagi orang-orang seperti ini tidak usah didiskusikan tentang konsep sosialisme. Hal itu muncul sebagai refleksi dari keadaan. Mereka lebih percaya diri dibandingkan sang intelektual.

Keenam, jadi untuk perkara kesadaran sosial (sosialisme) ada dua hal.

Satu, bagi orang-orang kebanyakan pemaksaan ideologi tidak bisa terjadi kecuali dengan perubahan struktural. Karena memang kesadaran mereka adalah refleksi dari struktur sosialnya. Setelah struktur dirombak baru lewat pendidikan dan sebagainya, kesadaran sosial mereka dibangun.

Dua, kesadaran sosial tersebut sudah ada pada orang-orang supernormal itu. Bagi mereka yang penting adalah keyakinan ideologi. Mereka yang tidak tergantung pada kondisi sosial yang ada. Mereka inilah, sekali lagi, yang menciptakan struktur dan kesadaran baru. Meski, Arief sendiri mengakui, tidak tahu apa yang menyebabkan orang itu bisa menjadi supernormal, bisa mentransedenkan. Pendidikan mungkin salah satu faktor. Tetapi tidak mutlak.

Ketujuh, Arief mengingatkan adanya teori social formation terkait kesadaran manusia dalam urusan perubahan struktural ini. Bahwa masyarakat yang kapitalis murni atau sosialis murni itu tidak ada. Dalam masyarakat kapitalis yang paling murni pun, ada sistem sosialis yang berperan secara diam-diam, tidak menentukan,  dicaplok oleh sistem dominan. Dominan itu juga berubah-ubah. Selalu ada elemen-elemen tidak masif. Kesadaran manusia itu retak, tidak masif.

Dengan kata lain, dalam social formation ada kombinasi dari yang namanya mode of production. Kombinasi inilah yang menentukan karakteristik masyarakat, berkembang dalam waktu dan tempat. Orang Indonesia yang masih feodal, perception of  time-nya berbeda dengan di Malaysia, misalnya. Itu bukan kepribadian yang ditentukan oleh sistem nilai manusia Indonesia, melainkan ditentukan oleh satu struktur Indonesia dalam kombinasi dari modes of production.

Pembaca budiman, sampai di sini jawaban atas pertanyaan di atas perihal bagaimana jadinya upaya-inspiratif (berbasis “kiat” Eka-Inkeles) mengatasi krisis integritas di NAK dengan adanya gagasan perubahan struktural lontaran Arief itu, menurut hemat penulis sudah terjawab. Setidaknya, terjawab secara teoritis. Lengkap dengan argumentasi yang diberikan oleh Arief Budiman.

Terjawab dalam satu kalimat yang tercakup pada butir pertama di atas. Bahwa (penulis kutip/ulangi), perubahan nilai-nilai budaya itu (dari krisis integritas NAK menuju ciri-ciri manusia modern Eka-Inkeles, dalam konteks tulisan ini—pen) hanya bisa terjadi kalau lebih dulu dirubah struktur sosialnya, sendi-sendi masyarakatnya yang mendukung nilai-nilai itu.

Jawaban itu, perubahan struktur sosial itu, membawa kita pada kenyataan bahwa perubahan itu sejatinya adalah pertarungan ideologi. Pertarungan antara Kapitalisme dan Sosialisme, ketika kombinasi mode of production Indonesia (termasuk NAK di dalamnya) sebagai wujud social formation itu apa.

Hal terakhir ini yang akan “dijelaskan lebih lanjut” dalam pemikiran Arief berikut. Penjelasan yang melengkapi jawaban pertanyaan diatas terkait pokok utama tulisan ini.

Upaya-inspiratif mengatasi, meminimalkan krisis integritas rayat NAK. Berangkat dari ungkapan seorang Ambon “Os Tau Apa?”

Lebih Jauh dengan Arief  di Pelembang

Arief di Palembang, maksudnya adalah makalah Arief Budiman yang disampaikan dalam sebuah seminar di Palembang tahun 1984 seperti disinggung pada Bagian Pertama.

Dalam makalah tersebut, makin jelas keberpihakan Arief pada sosialisme. Malahan diajukan sebagai orientasi masa depan Indonesia ketika menyoal regenerasi. Penulis kutip di sini, khususnya di jelang akhir makalah itu.

Kini kita tiba pada pertanyaan, Indonesia termasuk social formation apa? Menurut saya social formation yang ada di Indonesia adalah social formation kapitalistis. Artinya, di samping terdapat macam-macam mode of production di Indonesia, yang paling dominan masih tetap adalah mode of production yang kapitalistis.

Tapi, apa itu kapitalisme? Kita bisa berbicara berjam-jam tentang masalah ini tanpa dapat mencapai kejelasan yang sempurna. Secara umum, saya ingin mengikuti pengertian yang diberikan ahli sejarah Maurice Dobb (1972:56, 57) yang mengatakan bahwa:

“…kapitalisme dapat dijabarkan sebagai sebuah mode of production yang khusus di mana tenaga kerja berubah menjadi komoditi yang diperjualbelikan di pasar seperti barang-barang lainnya… salah satu prasyarat bagi lahirnya mode of production kapitalis adalah dipisahkannya manusia yang berproduksi dari alat-alat produksinya, dan kemudian terjadi pemilikan alat-alat produksi secara berlebih di tangan segelintir orang.”

Dengan definisi (yang umum) ini, kita dapat membedakan mode of production feodal (di mana para petani menguasai alat-alat produksi, yakni tanah dan alat-alat pertanian) dan mode of production sosialis (di mana alat produksi dimliki secara bersama). Bagaimana dengan Indonesia?

Di kota-kota besar kita lihat bahwa sistem kapitalisme sudah berjalan mapan. Alat-alat produksi menumpuk di tangan sekelompok kecil orang, sementara banyak orang-orang lain menjual tenaga kerjanya sebagai komoditi.

Masalah-masalah yang ditimbulkannya, seperti orang-orang menjadi kaya (karena menguasai alat produksi) secara berlebihan dan para buruh dan orang-orang yang idak punya pekerjaan, merupakan masalah yang khas dari sistem kapitalisme.

Di desa, di mana sistem feodal (atau sisa-sisanya yang menjelma, barangkali, menjadi sistem neo-patrimonialisme) masih ada, tampak terjadi perubahan-perubahan. Misalnya, bila dulu masih ada cara-cara tradisional dalam memanen padi (di mana semua warga desa boleh ikut serta dan mendapat bagian hasil, betapa kecilnya pun) maka dengan munculnya sistem tebasan (lihat Colier, et al, 1973; Utami & Ihalauw, 1973; Sinaga, 1978) di mana panen dikontrakkan kepada sejumlah kecil penebas (sehingga memberi keuntungan yang lebih besar bagi pemilik tanah), sistem panen tradisional ini mulai melenyap.

Gejala ini merupakan tanda meluasnya sistem kapitalisme ke desa-desa (yang memang sudah memiliki social formation yang kapitalistis sejak jaman kolonial) menghancurkan sisa-sisa sistem feodal yang ada.

Kalau pengamatan di atas mendapat persetujuan, maka kita dapat mengatakan bahwa social formation yang ada saat ini di Indonesia adalah social formation kapitalis.

Tentu saja pernyataan ini masih bersifat umum, kita masih harus mencari bagaimana artikulasi dari social formation ini di Indonesia sekarang.

Sub judul penutup makalah Arief itu bertajuk “Regenerasi: Apa yang Harus Dilakukan”, berisi 4 butir. Penulis kutip butir 3 dan 4.

(3) Sistem kemasyarakatan yang menjadi sumber keserakahan manusia ini adalah sistem kapitalisme. Indonesia pada saat ini juga mengikuti sistem ini dalam melaksanakan pembangunannya. Karena itu, menurut saya, untuk menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan (dalam arti menciptakan manusia-manusia yang tidak serakah), sistem kapitalisme ini harus diubah.

(4) Sistem apa yang menggantikan sistem kapitalisme di Indonesia? Menurut saya, sistem sosialisme.  Ada dua alasan pokok:

(a) Sistem ini memang sudah dikenal dalam masyarakat tradisional kita, yakni dengan nama gotong-royong. Kemudian, kalau kita baca pokok-pokok pikiran dari pendiri negara ini, dari Tjokroaminoto sampai Sukarno-Hatta ketika mereka berjuang melawan Belanda dulu, cita-cita mendirikan masyarakat sosialis selalu tercermin secara kuat.

(b) Sistem ini pun dinyatakan secara kuat pula dalam ideologi negara kita sekarang, yakni Pancasila dan UUD ’45. Dengan mudah kita temui cita-cita sosialisme dalam dokumen-dokumen politik kita.

Tetapi hendaknya dicacat pula, bahwa dengan sosialisme yang saya nyatakan di atas, bukan berarti kita harus mengikuti secara mentah-mentah sistem negara-negara sosialis yang ada. Yang saya terima adalah social formation sosialis bagi Indonesia, di mana kita memperhatikan macam-macam mode of production yang ada di Indonesia sekarang.

Adanya kesadaran akan perbedaan perkembangan sejarah dari masing-masing negara membuat mungkin kita menciptakan sistem sosialisme yang khas Indonesia. Yang ada sekarang, menurut saya, adalah sistem kapitalis yang khas Indonesia.

Gotong Royong itu Masohi

Penulis tutup tulisan ini, dengan  sekadar mengingatkan bahwa sebandung (pasangan) kata “gotong royong” yang disinggung Arief di atas, dalam bahasa Melayu Ambon disebut masohi.  Kini sudah diserap menjadi Bahasa Indonesia (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI, Edisi Kedua, 1999). Gotong royong itu masohi. Salah satu unsur adat istiadat orang Ambon.

Dan Sukarno, Presiden Republik Indonesia yang pada 1957 memberi nama Masohi bagi  cikal bakal sebuah kota baru di dataran Nama, pesisir Selatan bagian Barat dari Pulau Seram. Kota Masohi kini adalah Ibukota Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Kabupaten di mana NAK bernaung dalam lingkup Kecamatan Pulau Haruku.

Sekitar semester pertama tahun 2007 sebelum Raja NAK naik (akhir 2008), Rumah Raja yang hancur akibat kerusuhan dibangun kembali—hanya separuhnya saja. Adalah Jojo Pattiradjawane, aktivis pemuda NAK yang mengusulkan sistem masohi untuk pembangunan dimaksud.

Ternyata sistem masohi yang diterapkan, berdasarkan keterangan yang penulis peroleh, tak “murni” lagi. Para pemuda yang terlibat pembangunan Rumah Raja mau tak mau harus disediakan “imbalan”. Walau hanya berupa beras seliter dan telur ayam.

Apakah ini sebuah gejala seperti disebutkan Arief Budiman di atas, bahwa sistem kapitalis telah meluas ke desa-desa? Termasuk di NAK?

Apakah sistem sosialis yang ditawarkan Arief, pada hakekatnya khususnya di Maluku Tengah tempat asalnya orang Ambon, tak lain adalah adat istiadat itu?

Apakah hal ini dapat menjelaskan, kenapa Suharto (yang pro-sistem kapitalisme) menerbitkan UU No 5/1979 yang menghapus adat istiadat dimaksud; yang baru diberlakukan kembali setelah Suharto lengser?

Apakah hal ini juga dapat menjelaskan, kenapa UU No 32/2004 (menggantikan UU No 22/1999 yang masih “kental” euforia reformasi) berikut perda-perdanya tak berpihak pada perdesaan lantaran social formation Indonesia hari ini (masih) kapitalistis?

Kalau begitu, apakah upaya-inspiratif menghilangkan atau setidaknya meminimalkan krisis integritas di Leamoni Kamasune tak lain adalah menegakkan adat istidat yang betul setidaknya seperti keadaan sebelum berlakunya UU No 5/1979?

Kalau begitu, apakah tuntutannya berarti…bukan hanya NAK, tetapi justru Indonesia yang harus berubah agar memiliki social formation sosialistis?

Satu Tanggapan to “18 – Wawasan LK”

  1. sunnyjangkang Says:

    Salut buat si Pak Tua Dr Arief Budiman ini, seorang cendekia juga seorang resi.

    Tesisnya bereaksi menimbulkan anti tesis yang perlu direnungkan untuk Indonesia di masa depan. Bukan sebagai dogma, namun sebagai pemikiran kritis agar generasi muda nantinya dapat menilai zamannya, (lalu) dapat mendobrak kemapanan nilai-nilai sosial yang diciptakan oleh segelintir “manusia serakah”. Kemapanan yang membuat masyarakat akan mafhum, paham begitu saja dengan keadaan sudah ada, padahal masih ada pilihan yang lebih baik dan sesuai dengan Pancasila.

    Redaksi AKLK:

    Terima kasih Bung Sunnyjangkang, yang telah mampir di blog ini, Buku-e IPR, dan meninggalkan komentar.

    Kalau Redaksi AKLK boleh menambahkan, dalam konteks tesis Dr Arief Budiman yang menawarkan formasi sosial sosialis menggantikan formasi sosial kapitalis paralel dengan Pancasila, mungkin lebih tepatnya menimbulkan ajar (petunjuk yg diberikan kpd orang supaya diketahui—KBBI Edisi Kedua, 1999) yang perlu direnungkan untuk Indonesia … dan seterusnya.

    Sehingga generasi muda nantinya akan berupaya, misalnya, menjawab secara ilmiah pertanyaan Arief “apa benar Indonesia itu berformasi sosial kapitalistis?” Dan, istilah Bung Sunnyjangkang, pendobrakan kemapanan nilai-nilai sosial, menjadi jelas. Pendobrakan untuk sebuah Indonesia yang berformasi sosial sosialistis. Sekaligus sudah jelas pula (hasil penelitian tadi) apa itu yang dinamakan Sosialisme berkarakteristik Indonesia yang sangat kuat tercermin dalam Pancasila, gotong royong, atau masohi itu.

    Di sinilah, Redaksi AKLK sepakat dengan Bung Sunnyjangkang: Salut buat si Pak Tua…

    Bahwa adalah Arief Budiman yang membuat kita, suka tidak suka, menimbang kembali milik kita yang tulen: Pancasila. Terlebih setelah kejatuhan Soekarno.

    Masukan untuk Pertemuan Pemuda Dunia: “jual” masohi

    Menimbang kembali, khususnya di kawasan kampung halamannya etnik Ambon, adat istiadatnya sendiri, masohi itu.

    Sehingga, ketika Pertemuan Pemuda Dunia (World Assembly of Youth)di Ambon pada September 2011 ini, isu kekerabatan pela (sepatutnya bukan pela gandong—Red), sejatinya hanyalah salah satu saja dari unsur-unsur adat istiadat orang Ambon, masohi itu.

    Bahwa ketika masohi “dimandulkan” oleh Soeharto selama 4 dasawarsa, maka memudarnya unsur-unsur masohi seperti sasi (pelestarian lingkungan), ritual adat sarat (diberi konotasi negatif) “magis”, kekerabatan pela, dan seterusnya, ternyata kompatibel dengan, istilah Arief, formasi sosial kapitalis. Sehingga, ketika “konflik agama” (bukan konflik agama—tanpa tanda kutip) mengemuka saat kerusuhan, istilah Redaksi AKLK “zaman Vlaming jilid 2”, memasuki abad 21 lalu itu, sejatinya bukanlah hal yang mengherankan.

    Kenapa?

    Soalnya, formasi sosial kapitalis itu, dari sejumlah literatur, sarat dengan hal-hal yang kontra dunia yang damai dan harmonis. Semisal perusakan lingkungan (atau, setidaknya, keengganan mengurangi emisi karbon), pelecehan kearifan lokal, dan yang sangat mencolok kegemaran akan kekerasan berujung bisnis senjata.

    Jadinya, menurut hemat Redaksi AKLK, seyogianya yang “dijual” oleh Pertemuan Pemuda Dunia di Ambon itu janganlah “cuma” kekerabatan pela, tapi masohi itu sendiri. Lantaran masohi tidak lain adalah Pancasila, dan Pancasila itu sejatinya kompatibel dengan formasi sosial sosialistis.

    Tapi, bisa jadi Bung Sunnyjangkang benar. Pendobrakan kemapanan dimaksud adalah urusan generasi muda … nantinya.

    Konflik Ambon 11/9/11, Skenario Gagalkan Pertemuan Pemuda Dunia (baca: masohi/Pancasila)?

    Tapi, bisa jadi juga Ahamadinejad (Presiden Iran) benar–lewat “teori konspirasi”-nya. (Simak Hlm A-LAMPIRAN BUKU-E IPR [DIPERBARUI/UPDATED] klik 1 atau klik https://kariuxapakabar.wordpress.com/lampiran-bulek-ipr/1-bidasan-redaksi-14-mei-11/) Bahwa salah satu negara dari para penyerbu Libia 2011 itu sendiri yang berada di balik serangan 9/11/2001 New York–tepat sepuluh tahun lalu ketika konflik Ambon pecah 11 September 2011.

    Maka dengan “logika” Ahmadinejad tersebut, bisa jadi kita bertanya-tanya: jangan-jangan kerusuhan Ambon 11/9/11 adalah–seperti tajuk tulisan Nour Payapo di Kompasiana http://hankam.kompasiana.com/2011/09/14/konflik-ambon-skenario-gagalkan-pertemuan-pemuda-dunia/–“Konflik Ambon, Skenario untuk Gagalkan Pertemuan Pemuda Dunia” lantaran pertemuan dimaksud mengusung isu perdamaian dan sejatinya (seperti masukan Redaksi AKLK di atas) mengusung masohi, mengusung Pancasila itu sendiri–yang sangat membahagiakan sekali bagi para penyerbu Libia 2011 itu bila Pancasila tetap, istilah Kiki Syahnakri, tertransplantasi gen darah demokrasi liberal?

    Suka

Tinggalkan komentar