Dari Redaksi AKLK

Dahlan Iskan: Rakyat Berbisnis Bukan Negara—sebuah ajar untuk perdesaan

Aksi Demo Budiman Sudjatmiko dkk 12/1—generasi muda yang tak risi UUD 2002/ ’amandemen’ UUD 1945

Komentar Pembaca Prihandoyo Kuswanto—tentang Ketuhanan Yang Maha Esa

.

Pembaca Budiman blog AKLK  (Apa Kabar Leamoni Kamasune),

Selamat Datang di blog yang kini menjadi buku-e, buku elektronik. Buku-e IPR. Edisi diperbarui, pengeposan 14 Januari 2012.

Untuk penjelasan lebih lanjut seputar Buku-e IPR ini, Silakan simak pengeposan pada 14 Mei 2011; dengan mengarahkan kursor atau menggulirkan ke arah bawah tampilan ini. Atau dengan klik Mei 2010 di boks Arsip di kolom kanan tampilan ini, atau klik ini.

Sama seperti pada pengeposan bulan lalu,  kali ini pun tidak ada ada warita (berita) singkat dari Negeri Adat Kariu (NAK) yang masuk. Sehingga bidasan (respons) Redaksi AKLK atas warita singkat dengan sendirinya tidak ada pula. 

Dahlan Iskan: Rakyat Berbisnis Bukan Negara—sebuah ajar untuk perdesaan (pariwara 1)

Tapi, sebagaimana pada pengeposan-pengeposan sebelumnya, untuk pariwara (iklan) Buku-e IPR kali ini, kami kutip sebuah warita (berita) tempo.co (11/1/2012) bertajuk Dahlan Iskan Ingin Swasta Kembangkan Mobil Esemka. Silakan simak HALAMAN-A klik 9  atau klik ini.

Pertanyaannya, apa hubungan warita tersebut dengan iklan Buku-e IPR. Jawabannya, Redaksi AKLK alaskan pada argumentasi berikut.

Pertama, Pak Dahlan yang kutipan bukunya Ganti Hati sudah mencagun (muncul) di blog ini bulan lalu, tak pelak lagi adalah salah seorang “pancasilais” dalam tindakannya—setidaknya yang diyakini Redaksi AKLK. Cuplikan bukunya itu, adalah salah satu wujud perangai “kepancasilaisan” beliau.

Dan, masih pada argumentasi butir pertama ini, Pak Dahlan—dalam ruang dan waktu berbeda—telah menerapkan ajar yang Julius Tahija petik selama berbisnis: “ … saya  mempelajari satu prinsip manajemen yang paling mendasar yaitu: organisasi membutuhkan paling tidak satu orang pemimpin senior yang secara finansial tidak tergantung pada perusahaan , orang yang dapat mengambil keputusan yang benar menurut hati nuraninya dan menghindari kesalahan.” (Buku Julius Tahija Melintas Cakrawala, Yayasan Tahija, 2011, hlm 348)

Artinya, dengan kecukupan materi hasil bisnisnya, pebisnis beretika tinggi macam Pak Dahlan maupun Pak Tahija juga Pak Djokowi misalnya, tidak “memerkaya diri” ketika (mumpung) menjadi Dirut PLN/Menteri Negara BUMN, CEO Caltex* atau Walikota Solo. Inilah salah satu perilaku yang diisyaratkan Pancasila ketika Bung Karno menjelaskan mengenai gotong royong atau masohi itu.

“Gotong royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! … Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lupis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong! (Untuk alinea lengkap kutipan ini silakan simak HALAMAN-A klik 4a atau klik ini) 

Kedua, perangai sejenis yang ditunjukkan Pak Dahlan adalah ketika selaku menteri (Menteri Negara BUMN/Badan Usaha Milik Negara) menanggapi mobil Esemka karya siswa-siswa sekolah menengah kejuruan di Kota Solo, Jawa Tengah. “Biar swasta saja yang berbisnis. Rakyat yang berbisnis. Bukan negara,” ujar beliau seperti ditulis tempo.co. Atau coba kita simak sealenia kutipan dari warita itu:

 “Masak BUMN terus yang bisnis,” Dahlan tak mau merinci apa maksud penjelasannya. Ia hanya mengaku engggan menjadikan proyek perusahaan pelat merah supaya masyarakat punya kesempatan mengembangkannya. “Sekali lagi Yang berbisnis itu seharusnya rakyat, bukan negara,” tutur mantan bos media Jawa Timur itu sebelum masuk lift.

Tentu saja butir 2 argumentasi Redaksi AKLK di atas, bisa diperdebatkan perihal kepancasilaisan Pak Dahlan. Tapi yang Redaksi AKLK “tafsirkan dan sekadar menyegarkan ingatan” dari ucapan Pak Dahlan itu, bahwa tidak semua usaha, urusan, atau bisnis mesti ditangani negara.

“Hanya” yang berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar hajat hidup rakyat banyak. Listrik, air, transportasi, kesehatan, pendidikan dan seterusnya itu seyogianya dipegang negara. Lamun (namun) di “hanya” inilah, setidaknya Redaksi pahami, justru yang diisyaratkan oleh Pancasila, ketika Bung Karno menyebutkan  demokrasi ekonomi mendampingi demokrasi politik dalam menyoal sila Keadilan Sosial. (Simak tanggapan Redaksi atas komentar Pembaca di HALAMAN-A klik 02 atau klik ini)

Jadi, ini yang seyogianya juga berlaku di perdesaan, termasuk pula di sebuah negeri adat.

Kepala pemerintah negeri adat yang—pinjam-adopsi ajar Pak Tahija di atas—secara finansial tidak tergantung pada negeri, jadinya tidak perlu mencari-cari usaha atau bisnis dengan alasan “mengentaskan kemiskinan negeri”.

Konkretnya, pemerintah negeri adat tidak perlu menangani sebuah usaha, sebuah proyek pertanian atau perikanan atau lainnya. Biarlah rayat (rakyat) negeri, pebisnis negeri yang (sudah ada) justru seyogianya didorong untuk lebih maju lagi. Atau dalam kalimat Arief Budiman (kilk ini): “Kita harus menyadari bahwa pembangunan itu sesungguhnya merupakan inisiatif dari seluruh rakyat.”

Tentu saja dalam batas-batas yang dinaungi (domain) peraturan negeri. Lantaran pebisnis—sejatinya mandiri—akan menghidupi paling sedikit dirinya dan keluarga; terlebih mereka yang mempekerjakan sesama rayat lainnya. Apalagi dari pemerintah pusat sendiri sudah memiliki program bertujuan memandirikan rakyat (perkotaan dan perdesaan) Indonesia: PNPM M (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri).

Dengan begitu, pemerintah negeri adat bisa lebih mencurahkan perhatian pada “revitalisasi” adat istiadat/masohi—yang sempat mandul cukup lama di era Soeharto. Soalnya pula, Redaksi AKLK berkeyakinan bahwa dengan lebih tegaknya adat istiadat, Maluku berpeluang besar (paling tidak) keluar dari 10 besar provinsi termiskin. (Simak pengeposan bulan lalu)

Aksi Demo Budiman Sudjatmiko dkk 12/1—generasi muda yang tak risi UUD 2002/’amandemen’ UUD 1945 (pariwara 2)

Masih mengiklankan Buku-e IPR, Redaksi merasa perlu mengutip warita kompas.com (11/1/2012) Kamis Besok, Belasan Ribu Orang Berunjuk Rasa Soal RUU Desa dan Agraria. Silakan simak HALAMAN-A klik 10 atau klik ini.

Mengapa?

Pasalnya, kita seyogianya tidak hanya memetik ajar dari hal-hal yang positif.  Lamun juga dari yang bersifat  keberatan atawa kritik kita atas orang/pihak lain. Redaksi AKLK dengan terpaksa harus menaruh keberatan atas demo akbar itu dengan salah satu pentolannya, aktivis kondang sejak era Soeharto Budiman Sudjatmiko (mantan Ketua Umum KPP PRD/Partai Rakyat Demokratik yang loncat ke PDI-P/Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, membawanya menjadi anggota DPR RI/Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; tanpa meninggalkan “hobi” lama: seorang demonstran; perilaku anomali [ketidaknormalan, penyimpangan–Eko Endarmoko, 2006] lainnya dari anggota DPR, yang entah direstui atau tidak oleh partai barunya itu).

Soalnya juga, demo Budiman dkk  (dan kawan-kawan) yang melibatkan ribuan orang dan pada waktu bersamaan nyaris tersebar ke seantero Nusantara itu, sepintas sungguh menjanjikan—lantaran salah satu tuntutannya menolak reformasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Tetapi setelah disimak lebih jauh warita itu, ternyata, maaf,  “sama juga bohong”!

Loh, kenapa?

Jawabannya sederhana saja. Budiman dkk tidak menyentuh sedikit pun UUD 2002 istilah Prof Sofian Effendi untuk ‘amandemen’ UUD 1945. Budiman dkk tidak risi sedikit pun dengan kehadiran UUD 2002 itu. (Simak/klik ini)

Padahal bagi Redaksi AKLK, mengabaikan UUD 2002 untuk sebuah demo akbar skala nasional semacam itu—menyoal desa dan agraria pula—di awal abad ke-21 ini (ketika proses polarisasi kekuatan politik dan ekonomi global mulai berjalan perlahan tapi makin pasti dengan tampilnya negara-negara BRIT/Brasil Rusia India Tiongkok)   adalah hal  sangat prinsipil tak bisa diterima, untuk tidak mengatakan fatal!

Artinya bagi Redaksi AKLK yang selama 3 tahun terakhir ini berkutat dengan sebuah desa adat Negeri Adat Kariu (NAK) atau Leamoni Kamasune, tuntutan hapusnya UUD 2002 sangat, sangat  mendesak.

Sebab, sulit dipungkiri bahwa UUD 2002 tersebut yang menurunkan UU No 32/2004  tentang Pemerintah Desa dengan seperangkat perda (peraturan)-perda turunannya di Provinsi Maluku dan Kabupaten Maluku Tengah (bernaungnya NAK) ujung-ujungnya ternyata–seperti payung hukumnya–juga tidak berpihak perdesaan. Dengan hal menonjol dari legalitas turunan itu, kemandirian raja sebagai Kepala Pemerintah Negeri Adat terpreteli oleh bosnya raja: camat dan bupati.

Jadi, hemat kami Redaksi AKLK, persoalannya bukan melulu di alokasi dana pemerintah pusat untuk perdesaan. Yang, maaf, malah berpotensi besar menjadi  “ajang bagi-bagi duit” di antara perangkat desa-camat-bupati ketika korupsi berjemaah tak pudar-pudar. Di samping “kekacauan” legalitas implementasi UUPA  berhulu pada UUD 2002 jualah yang sejatinya menjadi alasan UUPA itu harus dipertahankan.

Dan bila perdesaan sebagai tulang punggung perekonomian kita telah terporak-porandakan, maka carut-marut di seluruh sendi-sendi kehidupan negeri ini, adalah sebuah konsekuensi logis saja dari sebuah negara dengan 2 konstitusi yang diametral satu sama lainnya.

Maka, pada akhirnya, Redaksi AKLK dengan terpaksa menyatakan “selamat jalan”  bagi generasi muda Budiman dkk. Redaksi AKLK terpaksa harus menunggu lagi satu generasi berikutnya, untuk dengan “enteng” tanpa beban apapun menuntut keras: hapusnya UUD 2002!

Apakah harus sebegitu pupus asanya terhadap Budiman dkk?

Ya! Perkaranya, dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang kami Redaksi AKLK miliki, hanya generasi muda yang sanggup berkata  “tidak!”  kepada  kekuatan di luar kita, kekuatan yang berdagang masih mengandalkan mesiu (baca: agresi/serangan dari suatu negara kepada negara lain [biasanya oleh negara yang kuat kepada negara yang kecil dan lemah]: JS Badudu, 2005)—sementara sudah hadir  negara (-negara), semisal BRIT, yang bisa berjaya lewat bisnis global tanpa mesiu—generasi muda inilah yang akan sanggup menghapus UUD 2002. Bertindak demi Pancasila dan UUD 1945 tanpa reserve  kecuali kejayaan dan kemandirian Indonesia sejati.

Kesanggupan macam inilah, dengan segala maaf, yang tidak dimiliki Budiman dkk.

Malah menyembul sebuah tanya besar: apa yang menyebabkan Budiman dkk tidak memiliki kesanggupan mengatakan “tidak” kepada kekuatan di luar kita itu?

Dan mungkin kita bisa saja saling bersilang pendapat berjam-jam menyoal sikap politik Budiman yang (pernah) mengklaim diri “kiri”. Tetapi ketika UUD 2002 tidak menjadi konsiderannya, maka teringatlah dan sadarlah kita bahwa begitu “warna-warni” yang namanya “kiri” itu.

Yang pasti Soekarno dengan “kiri”-nya itu yang menggali Pancasila dari bumi Indonesia, sampai perlu-perlunya ditumbangkan oleh kekuatan di luar kita itu. Para pembohong dan agresor di Irak dan Libia, begitu julukan Presiden Zimbabwe Mugabe untuk kekuatan di luar kita itu. Kekuatan yang masih saja konsisten menggapil (campur tangan) terutama atas negara-negara berkembang berlimpah sumber daya alam–sampai detik ini.

Empat dasawarsa sudah (!) pascaSoekarno ditumbangkan. Malah mencapai setengah abad lebih sejak pilot merangkap agen rahasia Allan Pope yang membom Ambon pada 18 Mei 1958 dalam mendukung pemberontakan melawan pemerintahan Soekarno. (Simak klik ini di Kronik LK-14 April 2009-VI)

Maka, sekali lagi. Adalah tugas generasi muda pascaBudiman dkk untuk menegakkan, mengembalikan apa yang sudah dibangun oleh Bapak-Bapak Pendiri republik  ini.

Sesuatu yang tidak mudah memang pun tidak dalam sekecap bahkan nyawa taruhannya.

Tapi kejayaan sebuah Indonesia yang berasaskan Pancasila adalah tak terelakkan.

Komentar Pembaca Prihandoyo Kuswanto—tentang Ketuhanan Yang Maha Esa

Di pengeposan ini termuat sebuah komentar (tepatnya ada 2 komentar, termasuk yang menyusul setelah pengeposan) dari Prihandoyo Kuswanto—tentang sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Redaksi AKLK menanggapinya dengan mengutip dua bagian pidato Soekarno Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Masing-masing, pada bagian tentang Ketuhanan Yang Maha Esa yang waktu itu oleh Soekarno ditempat pada sila ke-5. Serta bagian tentang Keadilan Sosial yang merupakan sila ke-4.

Silakan simak HALAMAN-A klik 02 atau klik ini lalu simak di bagian bawah tulisan tersebut.

Selamat Membaca.

Bagitu do (Begitu dulu)
Danke banya lai (Terima kasih banjak ya)
Amatoo (Dah)

Redaksi AKLK “Penunggu” Buku-e IPR

*Ternyata Pak Tahija menjadi kaya raya bukan dari Caltex tapi dari berbagai bisnisnya di luar Caltex.

Dan Caltex dibawah kepemimpinan Pak Tahija pernah menghasilkan minyak (1974) 1 juta bph (barel per hari). Jumlah yang tak pernah dicapai Indonesia lagi setelah itu. Malah melorot terus sampai hari ini dan menjadi penyebab Indonesia keluar dari organisasi negara-negara pengekspor minyak OPEC pada 2008.

Dari buku Melintas Cakrawala mafhumlah kita bahwa pajak $1 per barel bagi setiap perusahaan minyak yang diusulkan Presiden Bank Dunia McNamara (mantan Menteri Pertahanan Amerika) dan ditentang Pak Tahija tapi disetujui pemerintah Indonesia, adalah penyebab kemerosotan produksi minyak itu.

Banyak perusahan minyak yang enggan melakukan eksplorasi/pencarian ladang minyak baru. Atau malah hengkang ke negara lain. Padahal Pak Tahija telah menawarkan 1 milyar dolar AS sebagai alternatif pengganti pajak $1/barel, untuk upaya mencapai swasembada beras bahkan Indonesia bisa menjadi eksportir beras.

(Sebuah kejutan setidaknya bagi Redaksi AKLK, lantaran entah mengapa data sangat signifikan pajak $1 per barel tersebut sepengetahuan Redaksi AKLK tidak dilansir secara luas ke publik; yang kerap dipublikasikan oleh pemerintah adalah bahwa lifting [minyak siap jual] tidak mencapai target [yang juga sudah di bawah 1 juta bph itu tanpa pernah menjelaskan secara bayan/gamblang mengapa kemerosotan itu terus terjadi).

–<<>>–

iklan Buku-e IPR iklan Buku-e IPR iklan Buku-e IPR iklan Buku-e IPR iklan Bulek IPR . 

BACALAH BUKU-E IPR INI

INGIN PRO RAKYAT?

INGIN BERANTAS KORUPSI?

MULAILAH DARI DESA (KARIU), PAK SBY!*

NAK: Wajah Suram Sebuah Desa Indonesia**

Buku-e IPR

Kumpulan Tulisan Blog Apa Kabar Leamoni Kamasune

https://kariuxapakabar.wordpress.com

14 Februari 2009-14 November 2010

Penerbit: Redaksi Apa Kabar Leamoni Kamasune

14 Desember 2011

  * AKLK 14 – Wawasan LK  

** AKLK 41 – Kronik LK 

LEWAT

Warita Dahlan dan Mobil Esemka (tempo.co 11/1/2012)—sebuah ajar untuk perdesaan

Dan

Warita Aksi Demo Budiman Sudjatmiko dkk (kompas.com 12/1/2012): generasi muda yang tak risi UUD 2002/’amandemen’ UUD 1945

MENGAPA?

 PASALNYA, ORANG AMBON DENGAN MASOHI (GOTONG ROYONG; KOTA BARU OLEH SOEKARNO 1957)

MESTINYA BANGGA DAN MENJADI SALAH SATU DI ANTARA BARISAN TERDEPAN

PARA PEGIAT UNTUK KEMBALI KE PANCASILA-UUD 1945 ASLI

YANG MENGGELINDING/PERLU TERUS DIGELINDINGKAN BAK BOLA SALJU

LEWAT TINDAK DAHLAN ISKAN DAN AJAR DARI DEMO DI ATAS & SEDERETAN PEMIKIRAN BERBAGAI KALANGAN  DI IKLAN INI SEBELUMNYA: 

SOEKARNO, PROF SOFIAN EFFENDI, BUNG ARIEF BUDIMAN, PAK KIAI HASYIM MUZADI, TAJUK RENCANA KOMPAS-26/4/11, PAK YUDI LATIF, PAK JAKOB SUMARDJO, PAK KIKI SYAHNAKRI

YANG JANGAN-JANGAN MALAH SELANGKAH LEBIH MAJU DARI KISRUH DI TIMUR TENGAH & LIBIA (MENYUSUL SURIAH?)

 

SAMBIL MENCOBA MERENUNG ULANG PESAN PEJUANG MALUKU JOHANNES (NANI) LATUHARHARY:

 

“…banyak orang Maluku tidak sadar mengenai daerahnya. Tidak banyak yang mengerti bahwa mereka dengan sengaja dipisahkan dari tata kehidupan dan kebudayaannya. Tidak banyak yang memahami permasalahan sosial dan ekonomisya.” (AKLK 3-Wawasan LK) 

              SOALNYA JUGA, BUKU-E IPR INI PUNYA GREGET, SEMANGAT SERUPA 

SEDERETAN PEMIKIRAN BERBAGAI KALANGAN DI ATAS     

KETIKA MENYOROT

TEGAKNYA ADAT ISTIADAT DI SEBUAH NEGERI ORANG AMBON

BAK MENEGAKKAN BENANG BASAH

iklan Buku-e IPR iklan Buku-e IPR iklan Buku-e IPR iklan Buku-e IPR iklan Bulek IPR .

Tinggalkan komentar